Minggu, 26 April 2009

Permasalahan UU BHP

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis hanturkan atas kehadirat Allah SWT, atas segala karunia-Nya sehingga makalah ini dapat diselesaikan pada tepat waktu. Makalah ini membahas tentang RUU BHP. Makalah ini bertujuan untuk mengikuti seminar nasional yang diselenggarakan oleh BEM UKM FKIP UNIB.

Dalam penyelesaian makalah ini penulis mendapat beberapa kesulitan. Namun, semua kesulitan itu dapat penulis atasi dengan bantuan dari teman-teman. Oleh karena itu penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada temen - temen yang selalu memberikan saran dan masukan pada penulis.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna perbaikan di masa mendatang. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Bengkulu, April 2009

FIKON YANUARIE


DAFTAR ISI

Kata Pengantar ............................................................................................... i

Daftar Isi ....................................................................................................... ii

BAB I. PENDAHULUAN .......................................................................... 1

I.1 Latar Belakang .................................................................................. 1

I.2 Rumusan Masalah.............................................................................. 3

I.3 Tujuan ................................................................................................ 3

BAB II. KAJIAN PUSTAKA ....................................................................... 4

BAB III.ISI DAN PEMBAHASAN ............................................................. 6

3.1 Tujuan BHP ...................................................................................... 6

3.2 Apakah BHP solusi tepat bagi pendidikan di indonesia? .................. 9

3.3 Apakah Undang - undang BHP dapat dihapuskan ?......................... 12

3.4 Apa penyebab adanya RUU BHP ? ............................................... 13

3.5 Dampak apa yang ditimbulkan dari adanya RUU BHP ? ................ 20

3.6 Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (BHP) Bagi Dunia

Pendidikan Kita ? ................................................................................... 24

3.7 UU BHP Tidak Mengarah Privatisasi Perguruan Tinggi ! ............... 28

3.8 Jamin BHP Tidak Kedepankan Komersialisasi .............................. 30

3.9. Mengenal Perpres No. 76 dan 77 tahun 2007 dan RUU BHP ........ 33

BAB IV. PENUTUP ...................................................................................... 40

4.1 Kesimpulan ...................................................................................... 40

4.2 Saran ................................................................................................ 41

DAFTAR PUSTAKA


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sidang Paripurna DPR tentang pengesahan Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan menjadi undang-undang di DPR, Jakarta, Rabu (17/12), berlangsung ricuh. Peristiwa itu dipicu penolakan mahasiswa yang ikut menghadiri sidang.

Kericuhan dalam sidang paripurna yang dipimpin Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar itu berlangsung saat acara pembacaan pandangan akhir fraksi-fraksi di DPR. Penolakan yang diserukan mahasiswa dalam ruang sidang itu membuat petugas dalam (pamdal) DPR mengamankan mahasiswa. Para mahasiswa pun dengan paksa digiring petugas pamdal ke luar ruang sidang. Sempat terjadi saling dorong dan pukul antara pamdal dan mahasiswa. Di depan Gedung Nusantara II, puluhan mahasiswa Universitas Indonesia membentuk lingkaran dan memaksa masuk kembali dan akhirnya saling dorong dengan polisi.

Sejumlah mahasiswa terdengar menjerit dan menangis sambil menyuarakan penolakan pengesahan UU BHP. Unjuk rasa para mahasiswa di dalam halaman dan di luar pagar Gedung DPR itu berlangsung hingga sore hari.

Mahasiswa menilai pengesahan RUU BHP menjadi UU merupakan upaya komersialisasi pendidikan. Akibatnya, pendidikan akan semakin mahal dan membebani masyarakat, terutama dari kalangan tidak mampu.Mahasiswa juga memprotes ketentuan dalam UU BHP soal pembubaran badan hukum pendidikan, yang salah satunya karena dinyatakan pailit. Ini dinilai sebagai bukti sekolah akan dikelola seperti perusahaan.

Sementara itu, Aliansi Rakyat Tolak BHP menolak dengan alasan UU BHP menggunakan pendekatan ekonomi pasar bebas yang menganalogikan pendidikan sebagai komoditas ekonomi. Pemerintah dinilai hendak melepaskan tanggung jawab untuk memenuhi hak warga negara atas pendidikan.

Ketua Komisi X DPR Irwan Prayitno membantah anggapan, UU BHP akan membuat pendidikan di Indonesia menjadi semakin tidak terjangkau. Peraturan ini justru diyakini bisa memberi perlindungan pada masyarakat untuk tidak lagi dipungut biaya pendidikan yang tinggi.

Fasli Jalal, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Depdiknas, seusai siding mengatakan, masyarakat harus memahami semangat penyusunan BHP. Soal pendanaan pendidikan, justru pemerintah dituntut berperan besar.

”Pemahaman yang keliru ini mungkin karena masyarakat melihat praktik di perguruan tinggi badan hukum milik negara (BHMN), yang biaya kuliahnya jadi mahal. Di UU BHP ini justru diatur, biaya yang ditanggung mahasiswa paling banyak sepertiga biaya operasional,” ujar Fasli.

Adapun untuk warga tidak mampu, kata Fasli, justru semakin terlindungi. Ada kewajiban dari BHP dan pemerintah untuk menyediakan beasiswa, bantuan biaya pendidikan, kredit pendidikan mahasiswa, dan pemberian pekerjaan kepada mahasiswa. Selain itu, BHP wajib menjaring dan menerima siswa berpotensi akademik tinggi dan kurang mampu secara ekonomi, sekurangnya 20 persen peserta didik baru.

Sementara itu, Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta (Aptisi) Wilayah Jabar-Banten Didi Turmudzi, Rabu (17/12), menyesalkan tergesa-gesanya pengesahan UU BHP tanpa berusaha menyelesaikan lebih dahulu polemik yang muncul di permukaan. Substansi UU BHP, di dalam implementasinya, bisa menimbulkan persoalan baru di dunia pendidikan.

1.2 Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang terdapat dalam karya ilmiah yang saya buat adalah :

a. Apa tujuan RUU BHP ?

b. Apakah BHP solusi tepat bagi pendidikan di indonesia?

c. Apakah Undang - undang BHP dapat dihapuskan ?

d. Apa penyebab adanya RUU BHP ?

e. Dampak apa yang ditimbulkan dari adanya RUU BHP ?

f. Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (BHP) Bagi Dunia Pendidikan Kita ?

g. UU BHP Tidak Mengarah Privatisasi Perguruan Tinggi !

h. Jamin BHP Tidak Kedepankan Komersialisasi

i. Mengenal Perpres No. 76 dan 77 tahun 2007 dan RUU BHP

1.3 Tujuan

Adapun tujuan yang terdapat dalam karya ilmiah yang saya buat adalah :

a. Untuk mengetahui tujuan RUU BHP ?

b. Untuk mengetahui apakah BHP solusi tepat bagi sistem pendidikan di Negara kita ?

c. Untuk mengetahui Apakah Undang - undang BHP dapat dihapuskan ?

d. Untuk mengetahui Apa penyebab adanya RUU BHP ?

e. Untuk mengetahui Dampak yang ditimbulkan dari adanya RUU BHP ?

f. Untuk mengetahui pengaruh BHP Bagi Dunia Pendidikan Kita ?

g. Untuk mengetahui Apakah UU BHP Tidak Mengarah Privatisasi Perguruan Tinggi !

h. Untuk mengetahui Apakah ada Jamin BHP Tidak Kedepankan Komersialisasi?

i. Untuk mengetahui Perpres No. 76 dan 77 tahun 2007 dan RUU BHP.

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Jakarta, Jumat (6 Februari 2009) -- Undang - Undang (UU) No.9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang telah disahkan pada 16 Januari 2009 menyatakan yayasan, perkumpulan, atau badan hukum lain sejenis yang telah menyelenggarakan satuan pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan/atau pendidikan tinggi, diakui sebagai BHP Penyelenggara. Selanjutnya, BHP Penyelenggara dapat menyelenggarakan lebih dari satu satuan pendidikan. Satuan pendidikan yang didirikan setelah Undang - Undang BHP berlaku, wajib berbentuk badan hukum pendidikan.

Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo menyebutkan, bentuk badan hukum pendidikan satuan pendidikan terdiri atas BHP Pemerintah (BHPP), BHP Pemerintah Daerah (BHPPD), dan BHPM. "BHPM adalah badan hukum pendidikan swasta yang didirikan setelah UU BHP disahkan. Jadi perguruan tinggi swasta baru tidak punya opsi menjadi BHP Penyelenggara. Opsi ini hanya untuk yang sudah terlanjur ada. PTS baru harus dalam bentuk BHPM yang struktur aturan - aturannya mirip dengan BHPP, bedanya adalah dari kepemilikan saja. Kemudian nanti ada implikasi yang mengikuti di situ," katanya pada acara Sosialisasi UU No.9 Tahun 2009 tentang BHP bagi Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia, serta Pimpinan dan Ketua Yayasan PTS se Jakarta di Depdiknas Jakarta, Jumat (6/2/2009).

Persoalan BHP (Badan Hukum Pendidikan) adalah sebuah persoalan yang sebelumnya sudah menjadi polemik tersendiri di perguruan tinggi. Adanya BHP, Perguruan Tinggi Negeri (PTN) tak lagi menjadi katup penyelamat bagi anak-anak bangsa yang dapat membawa perubahan bagi bangsanya sendiri. Antara pemerintah dengan masyarakat belum ada garis kesepahaman yang sama mengenai pemerataan pendidikan.

Pasalnya, semenjak ada BHMN/BHP di PTN, kini privatisasi pendidikan makin menjadi-jadi. Liberalisasi dan komersialisasi pendidikan makin liar. Tidak sedikit beberapa PTN-BHP berinvestasi dana melalui penawaran paket emas (golden packet) untuk biaya masuk PT.

Kisaran nominalnya pun tidak kalah dengan PTS, yakni sekitar 100 juta. Padahal kalau kita bandingkan dengan biaya kuliah PTN di Jepang, yang tuition fee-nya berkisar 260 ribu Yen, di Singapura yang tuition fee nya berkisar 9.540-27.350 dollar Singapura atau di Malaysia, Universitas Kebangsaan Malaysia, yang memasang biaya 1.167 ringgit Malaysia hingga 1.500 ringgit Malaysia. Rasanya dengan biaya masuk 100 juta, bukan merupakan biaya yang ideal. Sebab, tingkat pendapatan perkapita masyarakat Indonesia jauh di bawah negara-negara tersebut

Pengesahan UU BHP merupakan suatu penyelewengan terhadap tujuan dan filosofi pendidikan Indonesia. Hal ini langsung terlihat dari berubahnya bentuk institusi pendidikan di Indonesia, mulai dari SD hingga Perguruan Tinggi menjadi Badan Hukum.

Sesuai dengan amanah konstitusi, pendidikan merupakan hak warga Negara yang penjaminan pemenuhannya wajib dilakukan oleh Negara. Berubahnya bentuk institusi pendidikan menjadi Badan Hukum akan mengeliminasi penjaminan Negara terhadap masyarakat dalam memperoleh pendidikan, salah satunya dari sisi aksesibilitas..

Segala semangat positif yang terdapat dalam BHP, seperti akuntabilitas, transparansi serta efisiensi birokrasi diharapkan akan menjadi solusi dari permasalahan pendidikan di Indonesia, yang dinilai bersumber dari inefisiensi birokrasi. Namun, terlepas dari itu semua, kita pun harus memperhatikan dengan jeli bahwa pengubahan status institusi pendidikan menjadi BHP mengandung konsekuensi tersendiri. Konsekuensi tersebut merupakan akibat dari esensi bentuk Badan Hukum yang melekat pada institusi pendidikan berbentuk BHP.

BAB III

ISI DAN PEMBAHASAN

3.1. Tujuan RUU BHP

Tujuan RUU yang mengatur BHP pada dasarnya untuk menciptakan badan hukum baru melengkapi sejumlah badan hukum yang sudah ada. Adapun jenis badan hukum yang selama ini dikenal adalah perseroan terbatas (PT), koperasi, yayasan, perusahaan umum (perum), badan layanan umum (BLU), perhimpunan, dan yang paling baru adalah badan hukum milik negara (BHMN).

Berbagai jenis badan hukum, kecuali BHMN, dianggap kurang memadai sebagai "kendaraan" yang mengelola pendidikan. PT jelas kurang pas karena fungsi PT adalah mencari keuntungan. Apalagi berbagai organ dalam PT tidak dapat digunakan untuk mengakomodasi pengurus lembaga pendidikan, seperti kepala sekolah dan rektor. Demikian pula dengan koperasi, perum, dan BLU.

BHP diharapkan menjadi badan hukum yang dapat mengakomodasi organ yang dikenal pada lembaga pendidikan. Hanya saja RUU yang mengatur badan hukum dan secara eksklusif mengatur pendidikan dapat dipertanyakan. Apakah tepat pengaturan badan hukum untuk melakukan satu kegiatan atau industri secara eksklusif?

Dari sejumlah jenis badan hukum yang dikenal, tidak ada satu pun yang secara eksklusif diperuntukkan untuk menjalankan kegiatan atau industri tertentu. Sebagai contoh BHMN, tidak secara eksklusif diperuntukkan untuk menjalankan kegiatan pendidikan mengingat Badan Pelaksana Minyak dan Gas (BP Migas) didirikan dalam bentuk BHMN. Demikian pula PT dan yayasan yang tidak ditujukan untuk satu kegiatan (single activity) secara eksklusif.

Di Indonesia memang dibutuhkan lebih banyak badan hukum agar setiap kegiatan atau industri dapat memilih badan hukum yang sesuai dengan kebutuhan. Namun adalah suatu yang tidak lazim bila penyelenggara pendidikan dilakukan oleh suatu badan hukum yang khusus untuk itu.

Dua alasan

Bila ditilik ke belakang, ada dua alasan mendasar mengapa RUU BHP dimunculkan. Pertama, lembaga pendidikan "negeri" yang selama ini merupakan bagian dari instansi pemerintah dalam bentuk unit pelaksana teknis (UPT) ingin dimandirikan dengan status sebagai badan hukum. UPT yang menjadi badan hukum bukanlah lembaga pendidikan, melainkan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Kalaupun pengurus lembaga pendidikan dapat mengikatkan lembaganya dengan pihak ketiga, kewenangan tersebut berasal dari pendelegasian kewenangan yang dimiliki oleh Menteri Pendidikan Nasional. Ada banyak alasan mengapa lembaga pendidikan yang dimiliki oleh pemerintah hendak dimandirikan. Alasan bisa muncul dari pemerintah, tetapi juga bisa dari lembaga pendidikan negeri.

Dari pengalaman empat perguruan tinggi negeri, UI, ITB, IPB, dan UGM, sewaktu menjadi badan hukum milik negara (BHMN) alasan muncul dari lembaga pendidikan tersebut. Kemandirian dibutuhkan oleh keempat perguruan tinggi negeri tersebut karena penyelenggaraan pendidikan yang sudah lama dibirokrasikan layaknya instansi pemerintah membuat mereka kehilangan daya saing. Akibatnya, sulit diharapkan keempat perguruan tinggi itu untuk bersaing dengan perguruan tinggi swasta, apalagi harus bersaing dengan perguruan tinggi di luar negeri.

Birokrasi ala pemerintah membuat para pejabat yang mengelola universitas harus memenuhi syarat kepangkatan untuk menduduki eselonisasi tertentu layaknya instansi pemerintah. Demikian pula urusan anggaran akan mengikat aturan yang berlaku di instansi pemerintah. Bahkan pengisian jabatan kerap dijadikan ajang politik ketimbang amanah untuk mengedepankan suasana akademis. Dari sini terlihat bahwa tujuan mem-BHMN-kan keempat perguruan tinggi itu sama sekali bukan untuk komersialisasi pendidikan.

Bila saat ini di antara empat universitas BHMN terkesan melakukan komersialisasi hal ini terpulang pada kebijakan dari pimpinannya yang harus bergelut dengan minimnya subsidi dari pemerintah. Harus diakui bahwa pendidikan yang prima membutuhkan banyak dana. Menaikkan biaya operasional mahasiswa merupakan kebijakan yang paling mudah meskipun tidak semua universitas melakukannya. Bila kebijakan tersebut yang diambil, maka pimpinan universitas tidak berbeda dengan kepala daerah yang mengenakan retribusi dan pajak daerah untuk mendapatkan pendapatan asli daerah.

Alasan kedua dimunculkannya RUU BHP terkait dengan penyelenggaraan pendidikan oleh pihak swasta. Hampir semua penyelenggara pendidikan swasta dilakukan oleh badan hukum berupa yayasan. Penggunaan yayasan memunculkan dua kepengurusan, yaitu pengurus yayasan dan pengurus lembaga pendidikan. Pengelolaan lembaga pendidikan diserahkan kepada institusi yang dikenal dalam lembaga tersebut. Dalam beberapa tahun terakhir kerap muncul perselisihan antara pengurus Yayasan dan pengurus lembaga pendidikan. Bagi Depdiknas kehadiran RUU BHP diharapkan menjadi solusi untuk menghilangkan kepengurusan ganda. Namun di sisi lain, RUU BHP menjadi sumber kekhawatiran bagi pengurus yayasan. Hal ini karena fungsi pengurus yayasan akan hilang. Pengurus yayasan akan ditransformasikan menjadi Majelis Wali Amanat (MWA) yang merupakan bagian dari lembaga pendidikan.

Bila RUU BHP menjadi UU, pengurus yayasan tidak akan lagi memiliki kewenangan yang selama ini ada, seperti pengangkatan kepala sekolah dan rektor berikut perangkatnya. Bahkan pengurus yayasan tidak dapat lagi bertindak sebagai pemilik dari lembaga pendidikan yang dikelola.

Substansi RUU BHP

Meskipun badan hukum baru yang dijadikan kendaraan untuk penyelenggaraan pendidikan sangat didambakan, RUU BHP masih belum dapat menjawab kebutuhan tersebut.

Pertama, substansi RUU BHP banyak memiliki kekurangan bila yang hendak diatur adalah keberadaan badan hukum. RUU BHP perlu mendapat revisi besar-besaran (major revisions).

Kedua, ego sektoral dari Depdiknas sangat kental tercermin dalam RUU BHP, padahal yang hendak diatur adalah badan hukum. Kekurangan lain dari RUU BHP adalah keinginan untuk menyeragamkan lembaga pendidikan dari semua tingkatan. Apalagi yang dijadikan patokan adalah institusi yang dikenal pada empat universitas BHMN. Suatu hal yang mustahil. Akhirnya menjadi pertanyaan apa yang menjadi tujuan utama dari RUU BHP? Apakah membentuk badan hukum baru ataukah penyeragaman badan hukum yang menyelenggarakan pendidikan? Jawaban dari pertanyaan ini merupakan politik hukum dari RUU BHP. Bila penyeragaman yang menjadi jawaban, sepertinya kehadiran UU BHP justru akan menambah masalah.

3.2. Apakah BHP Solusi Tepat bagi pendidikan di Indonesia ?

Tidak ada satu pun negara di dunia ini maju dengan mengambil kebijakan tidak memprioritaskan pendidikan. Kita sering mendengar cerita pasca Jepang di bom oleh sekutu. Waktu itu, Kaisar Hirohito mengumpulkan seluruh pemangku kepentingan dari seluruh negeri untuk bermusyawarah mengambil langkah penyelamatan negara. Kaisar lantas bertanya berapa jumlah guru yang tersisa di seluruh negeri. Pertanyaan tersebut menuai protes dari berbagai pihak, terutama dari ekonom dan tentara. Kemudian Kaisar menjelaskan tentang langkah besar untuk bangkit dari kekalahan. Kaisar mengatakan bahwa kunci untuk bangkit adalah pendidikan. Banyak contoh dari negara-negara lain. Tidak perlu jauh-jauh negara tetangga kita misalnya, Malaysia. Dengan progresivitas anggaran pendidikan dan keinginan kuat belajar dari berbagai negara termasuk Indonesia, Malaysia telah mulai menuai hasil saat ini. Masih sering kita mendengar pada waktu tahun 70an banyak guru dan dosen Indonesia yang diminta mengajar di Malaysia.

Kembali kepada BHP, apabila kita melihat isi dari BHP ini pasal demi pasal, maka kita dapat menyimpulkan bahwa ini adalah sebuah solusi yang ditawarkan oleh pemerintah dalam hal ini eksekutif dan legislatif untuk menyelamatkan pendidikan di tengah krisis multidimensi. Tetapi solusi yang ditawarkan merupakan sebuah jalan keluar jangka pendek dari pemerintah untuk memperkecil “beban” tanggung jawab pemerintah dalam pendidikan. Sehingga solusi yang ditawarkan ini merupakan hal yang bertentangan dengan semangat untuk memberikan pendidikan bagi seluruh rakyat Indonesia. Kita sekarang ini membutuhkan solusi jangka panjang, membutuhkan visi menempatkan pendidikan di atas kepentingan dan prioritas lainnya di negara ini dan itu belum terlihat semenjak Indonesia merdeka. Analoginya seperti ini. Biaya pendidikan 100% gratis, tenaga pengajar mendapat kehidupan yang layak. Lantas uangnya darimana? Benahi kasus korupsi yang menggerogoti BUMN-BUMN misalnya, Kasus BLBI, kurangi anggaran ekonomi spekulatif, pembayaran pajak progresif dan lain-lain. Itu baru yang disebut kebijakan pro rakyat. Artinya, kebijakan yang perlu menjadi prioritas utama adalah pendidikan. Kebijakan lain disusun untuk mendukung kebijakan utama tersebut.

Pengalaman membuktikan banyak hal. Pasca kemerdekaan, Indonesia menempatkan kebijakan pemenuhan kebutuhan pokok pada hal yang utama, beragam alasan saat itu menjadi dasar, salah satunya karena banyak penduduk miskin tidak mampu makan. Kemudian kebijakan-kebijakan selanjutnya berorientasi kepada sektor industri, karena kondisi daya saing ekonomi kita saat itu dinilai sangat lemah. Sekarang sudah 63 tahun setelah kemerdekaan. Apa yang bisa kita petik? KKN dimana-mana, krisis multidimensi, daya saing bangsa rendah, krisis ekonomi, bencana alam, dan lain-lain. Jika kebijakan hanya berupa kebijakan ketergantungan maka sampai kapan pun ketahanan dan kemandirian bangsa kita akan dipertanyakan. Salah satu kebijakan untuk kemandirian adalah melalui pembangunan sumber daya manusia, yaitu melalui pendidikan. Seperti sebuah pernyataan dari Peter F Drucker di awal tulisan ini, bahwa yang akan menjadi sumber daya modal sebuah bangsa menghadapi era sekarang ini adalah pengetahuan.

Persoalan yang diketengahkan dari BHP diantaranya tentang tata kelola. Lembaga pendidikan seharusnya tertata dengan baik, profesional, pendidikan efektif dan efisien, akuntabilitas, transparan, penjaminan mutu, layanan prima, akses yang berkeadilan, keberagaman, keberlanjutan. Hal tersebut merupakan hal yang sudah seharusnya dilakukan dan bukan hal yang baru. Tidak dengan BHP seharusnya sudah dapat berjalan. Kalau masih bermasalah berarti sumber daya yang perlu dibenahi bukan sistemnya.

Bangun Visi Utamakan Pendidikan

Permasalahan ini memang rumit. Membutuhkan keinginan kuat dan goodwill dari semua pihak. Hasil pendidikan tidak terlihat hanya satu atau dua tahun saja bahkan bisa mencapai puluhan tahun. Tetapi hasil pendidikan akan mengangkat moral dan derajat bangsa kita lebih tinggi dan memiliki banyak alternatif pemecahan masalah. Pendidikan harus ditempatkan pada tempat yang utama, selanjutnya kebijakan lainnya dibuat setelah orientasi pembangunan difokuskan kepada pendidikan. Teringat ungkapan seorang guru besar ITB, Prof. Gede Raka, beliau mengatakan, “Negeri ini sudah kehilangan banyak hal, telekomunikasi dikuasai oleh asing, perbankan dikuasai oleh asing, sumber daya alam dikuasai oleh asing, dan apakah kita harus kehilangan pendidikan kita pula?”.

Benturan Idealita dan Realita

Satu per satu muncul masalah yang menghambat ketercapaian amanat UUD 1945. Ketika kondisi Indonesia terdesak dengan krisis ekonomi dan kebutuhan pemenuhan anggaran yang demikian banyak, pemerintah pun dituntut untuk memenuhi amanat yang telah tertuang dengan jelas di dasar negara kita tersebut. Apabila hal tersebut tidak dijalankan maka pemerintah sudah melanggar amanat konstitusi.

Kondisi keuangan negara yang masih sekarat seperti saat ini dan masih mengandalkan pinjaman memang menyulitkan. Tetapi di tengah-tengah krisis yang sedang menghantam Indonesia harapan itu seharusnya muncul dari dunia pendidikan. Selama ini pendidikan senantiasa di anaktirikan pengelolaannya. Setelah di anaktirikan selanjutnya diminta untuk bertahan hidup sendiri. Itu lah kurang lebih analogi bagi pendidikan di Indonesia.

3.3 . Apakah Undang - undang BHP dapat dihapuskan ?

Undang-undang Badan Hukum Pendidikan (BHP) tidak bisa dicabut karena undang-undang hanya bisa dicabut dengan undang-undang lagi. Menurut Wakil Ketua Komisi X DPR RI Heri Akhmadi, di Jakarta, Kamis (25/12), undang-undang adalah produk politik. Kalau memang ada yang menilai tidak sesuai dengan UUD 45 maka bisa mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Sekarang ini banyak yang menuntut UU BHP dibatalkan oleh DPR, itu adalah tuntutan yang salah alamat. Selama 30 hari undang-undang disahkan, ditandatangani atau tidak ditandatangani oleh presiden maka undang-undang tetap efektif berlaku untuk dilaksanakan.

Yang berhak mengkaji produk undang-undang adalah Mahkamah Konstitusi atas dasar adanya permintaan judicial review (uji materi) dari masyarakat atau warga negara bisa perorangan atau kelompok. Jadi kalau masyarakat menilai ada pasal-pasal yang merugikan silakan ajukan judicial review kepada Mahkamah Konstitusi, jelasnya. Aksi demo menolak UU BHP tak pelak mengundang komentar berbagai kalangan termasuk Sri Sultan Hamengku Buwono X yang menghendaki pengkajian ulang UU BHP. Kalau memang UU BHP dinilai bertentangan dengan UUD, tidak perlu berdemo. Tidak usah ribut-ribut begitu. Ini peristiwa biasa. DPR mengesahkan undang-undang kemudian ditolak., itu biasa terjadi bukan undang-undang ini saja yang dinilai kontroversi. Banyak produk undang-undang yang sudah dibuat DPR di-judicial review di Mahkamah Konstitusi.

3.4. Penyebab adanya RUU BHP

Pengesahan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) pada tanggal 17 Desember 2008 silam oleh DPR-RI telah menuai pro dan kontra dari berbagai elemen masyarakat. Unjuk rasa besar-besaran menolak hadirnya UU BHP oleh sebagian besar mahasiswa di berbagai daerah telah mewarnai pemberitaan media elektronik maupun media cetak di penghujung tahun 2008. Disisi lain beberapa kalangan akademisi dan pengamat pendidikan tinggi justru menyambut baik pengesahan UU BHP ini.

Pro dan kontra terhadap kehadiran UU BHP adalah sebuah kewajaran dalam dinamika kehidupan akademis, karena pemahaman terhadap isi undang-undang BHP yang terdiri dari 14 pasal dan 69 ayat itu bisa berbeda. Kontroversi UU BHP yang digaungkan oleh sebagian masyarakat utamanya para mahasiswa itu lebih mengkritisi pada kekhawatiran dalam pelaksanaannya, yang diduga akan mengakibatkan semakin mahal dan tidak terjangkaunya biaya pendidikan di perguruan tinggi khususnya bagi masyarakat berpenghasilan rendah.

UU BHP juga disalahkan karena tidak sejalan dengan semangat UUD 1945 yaitu untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Kondisi ini terjadi karena nampaknya pemerintah kurang menyosialisasikan RUU BHP sebelum disahkan menjadi UU BHP, selain dijumpai banyaknya kelemahan pada pasal demi pasal. Padahal secara jelas ditegaskan bahwa undang-undang ini merupakan kelanjutan dari UU Nomor 23 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Perlu dipahami pula bahwa UU ini merupakan payung hukum bagi penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia, yang memberikan keleluasaan untuk menentukan kurikulum, pengembangan SDM, kekayaan aset dan fasilitas untuk mendongkrak mutu perguruan tinggi dan lulusannya yang kian merosot.

Terkait dengan arah pengembangan beberapa perguruan tinggi BHMN menuju universitas bertaraf internasional (World Class University-WCU), maka hendaknya kita menyikapi kehadiran UU BHP ini secara arif dan bijak dengan lebih mengedepankan kepada kepentingan untuk meningkatkan mutu pendidikan tinggi di Indonesia termasuk pencapaian WCU, tanpa mengabaikan kesempatan masyarakat kecil untuk dapat mengenyam pendidikan tinggi. Tulisan ini mencoba untuk mengurai akar masalah UU BHP serta memberikan pandangan kepada seluruh perguruan tinggi BHMN dalam menyikapi permasalahan bangsa ini.

Akar Masalah

Bila kita simak secara teliti, ternyata UU BHP memiliki cukup banyak kelemahan yang secara umum dapat dikelompokan kedalam 3 (tiga) masalah utama, yaitu (1) masalah keberpihakan kepada masyarakat kecil, (2) masalah tanggungjawab pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi, dan (3) masalah kacau-balaunya pasal-pasal dalam undang-undang ini. Keberpihakan pada masyarakat kecil untuk memperoleh jaminan pendidikan tinggi dengan biaya yang terjangkau, nampaknya tidak tercermin dalam pasal-pasal dari undang-undang ini.

Pasal-pasal yang ada lebih mengatur hal-hal yang terkait dengan privatisasi dan korporatisasi perguruan tinggi negeri (PTN) seperti terungkap pada Pasal 43 ayat (1) tentang badan usaha dan Pasal 57 tentang kepailitan. Di sisi lain komersialisasi PTN secara implisit tercermin pada Pasal 38 ayat (1) yang menjelaskan tentang sisa hasil kegiatan/usaha. Pembatasan akses pendidikan tinggi bermutu bagi warga negara berpenghasilan rendah tercermin pada Pasal 46 ayat (1) yang memberi kuota 20 persen untuk mahasiswa golongan ini. Itupun tidak ada batasan jaminan keterjangkauan biaya pendidikan yang diatur secara jelas.

Meskipun pada kenyataannya, jauh-jauh hari sebelum UU BHP disahkan, hampir sebagian besar PT BHMN sudah lebih dulu memasang tarif tinggi untuk bidang studi yang banyak diminati. Dengan demikian, UU BHP telah memberikan legitimasi terhadap praktek-praktek pemungutan biaya kuliah yang tinggi tanpa batasan besarnya biaya tersebut khususnya pada beberapa PTN melalui pelaksanaan ujian mandiri. Masalah tanggungjawab pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi secara eksplisit dalam UU BHP dapat difahami bahwa pembiayaan pemerintah masih tergolong rendah, meskipun anggaran pendidikan 20% dari APBN segera direalisasikan. Untuk itu UU BHP memberikan peluang bagi PTN untuk menutupi kekurangan biaya melalui komersialisasi kursi PTN sebagaimana diungkapkan pada Pasal 41 ayat (6) dan (9), dimana setengah dari biaya operasional ditanggung oleh BHP plus pemerintah, dan sepertiganya ditanggung oleh masyarakat.

Kondisi ini terjadi karena adanya kekosongan pengaturan tentang pendidikan tinggi dalam UUD 1945 (amandemen ke-4). Dampak yang diduga akan terjadi dari kurangnya tanggungjawab pemerintah dalam pembiayaan PTN ini adalah melambungnya biaya kuliah di PTN favorit. Terkait dengan masalah tanggungjawab pemerintah ini, UU BHP juga memberikan sinyal peluang masuknya pihak asing dalam bisnis pendidikan tinggi di Indonesia yang tentunya dapat mengancam integritas bangsa. Jejak liberalisasi pendidikan terekam sejak Indonesia meratifikasi perjanjian perdagangan bebas yang disponsori WTO pada tahun 1994. Dalam perjanjian tersebut dinyatakan, sektor jasa termasuk pendidikan tinggi dimasukan ke pasar global dan dijadikan komoditas jasa yang bisa diperjualbelikan (Gatra no.08 tahun XV Januari 2009).

Masalah terakhir adalah kacau-balaunya pasal-pasal dalam UU BHP, yang mencerminkan bahwa undang-undang ini terkesan diselesaikan secara tergesa-gesa hanya untuk memenuhi target dengan mengabaikan kualitasnya. Arya Hadi Darmawan (2009) menyebut kekacauan ini sebagai inkonsistensi logika antar pasal. Ia memberi contoh inkonsistensi tersebut terdapat pada Pasal 4 yang menyatakan BHPP adalah organisasi nirlaba versus Pasal 57 dan Pasal 58 yang menyatakan bahwa BHPP dapat pailit. Selanjutnya pada Pasal 4 dinyatakan sisa hasil usaha (SHU) versus Pasal 38 ayat (1) dan (3) tentang sisa hasil kegiatan, yang secara jelas menunjukan inkonsistensi.

Bagaimana PT BHMN

PT BHMN mau ataupun tidak mau harus menerima kehadiran UU BHP yang menjadi payung hukum otonomisasi penyelenggaraan pendidikan tinggi. Bagaimana menyikapi UU BHP ini? tentu sangat bergantung pada kebijakan dari masing-masing perguruan tinggi pelaksana.

Dalam menyikapi akar masalah UU BPH seperti yang telah diuraikan di atas, maka PT BHMN harus mengambil peran untuk mengusulkan judicial review dan amandemen terhadap pasal-pasal yang secara nyata belum sempurna dan menyesatkan. Untuk itu perlu dilakukan kajian mendalam dalam mencermati pasal-pasal UU BHP dan mencari solusi pembiayaan selain dari dana masyarakat. Solusi tersebut seyogianya diperoleh dengan mencari "cara cerdas" melalui pengelolaan sumber daya yang dimiliki perguruan tinggi berupa SDM yang handal dan aset-asetnya. Sebagai contoh, pelaksanaan berbagai kerja sama riset dan bisnis yang dapat memberikan kemaslahatan bagi seluruh sivitas akademika. Dengan demikian, peningkatan mutu pendidikan tinggi dapat dilakukan tanpa harus mengorbankan kesempatan bagi masyarakat berpenghasilan rendah untuk menimba ilmu di perguruan tinggi favorit dengan biaya terjangkau.

Meski akhir-akhir ini ada sinyalemen kecenderungan diterimanya UU BHP oleh petinggi Perguruan Tinggi Negeri (PTN), namun kalangan Perguruan Tinggi Swasta (PTS) sebagian besar menolaknya karena selain ada kecenderungan liberalisasi pendidikan, juga merugikan status Yayasan sebagai pendiri dan pengelolanya. Di PTN pun sebagian besar mahasiswa juga menolaknya. Ini tercermin dari terus menerus dilakukannya demo untuk menentang disahkannya UU BHP tersebut.

Bahkan kecenderungan digunakannya kekerasan oleh mahasiswa, baik yang berujung bentrok dengan aparat, bahkan pengrusakan bangunan calon mall yang akan menggantikan masjid dan laboratorium di sebuah PT pun terjadi. Dampaknya, selain sejumlah mahasiswa terluka dan diamankan petugas, kerugian moral, material, serta terganggunya aktivitas proses belajar mengajar pun terjadi.

Pertanyaan yang pantas dilontarkan terkait masalah ini adalah, mengapa penolakan terhadap RUU BHP hingga jadi UU BHP terus saja terjadi? Menguntungkan atau merugikan mahasiswakah sebenarnya UU BHP tersebut? Tidakkah masih memungkinkan memecahkan masalah tersebut dengan duduk bersama, sembari mencari jalan terbaik, sehingga masalahnya tidak makin berlarut-larut dan makin parah?

Beda persepsi

Bila kita mencoba memahami UU BHP, sebenarnya tidak semua pasal serta ayatnya merugikan peserta didik beserta orang tuanya. Untuk pendidikan dasar dan menengah contohnya, justru peserta didik serta orang tua yang kurang mampu makin terperhatikan. Penyelenggaraan pendidikan gratis yang antara lain dicanangkan dalam UU BHP tersebut jelas merupakan hal positif.

Namun, persepsi bahwa UU BHP merugikan karena hanya menguntungkan mereka yang kaya, juga bukan sesuatu yang salah. Kenyataan yang ditunjukkan para penolak, terutama mahasiswa setidaknya didasarkan pengalaman, melihat, serta mengalami kenyataan di PT yang saat ini statusnya sudah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN), yang cenderung menerapkan SPP serta beaya lainnya yang makin tidak terjangkau kalangan miskin.

Kecenderungan lainnya adalah, kesan semaunya terutama dalam penerimaan mahasiswa baru yang cenderung menguntungkan kalangan berduit, dan membatasi kuota Pemenrimaan Mahasiswa Baru (PMB) umum yang angkanya hanya berkisar 15-30 persen dari jumlah mahasiswa baru yang diterima. Selain itu, penolakan terhadap UU BHP ini juga disebabkan oleh kecenderungan makin lepas tangannya pemerintah, terutama terhadap PT dengan makin berkurangnya subsidi, padahal amanat UUD 1945 jelas tidak demikian.

Selain itu diharuskannya mahasiswa menanggung 30 persen seluruh beaya operasional, tentu akan menyebabkan mahasiswa membayar makin mahal, padahal kondisi ekonomi cenderung makin sulit. Keharusan setiap PT untuk menyediakan 20 persen kursinya bagi yang tidak mampu juga makin menuai protes, karena seharusnya rakyat miskin yang menurut penolak jumlahnya cenderung lebih besar dan makin besar, diberi porsi bila perlu hingga 80 persen (Darmaningtyas, Kabar Malam TV ONE).

Berbagai pengetahuan dan pengalaman baik yang secara nyata mereka ketahui dan saksikan, serta diperkuat berbagai data lain dari kalangan penolak itulah yang akhirnya memperkuat tekad para mahasiswa, agar UU BHP tidak jadi diberlakukan. Mungkin, mereka menggunakan Teori Belajar dari Charles Osgood (dalam Little John, 1999) yang menyebut pengalaman manis ataupun pahit sebagai media belajar.

Duduk memanfaatkan media

Untuk itu, daripada perang pernyataan lewat media, tidakkah lebih baik berdialog untuk mencari jalan keluar yang terbaik. Ini penting, karena meski sebagian kalangan yang menolak telah melakukan Yudicial Riview ke Mahkamah Konstitusi (MK), namun sebagian besar lainnya, mahasiswa tampaknya tidak sabar menanti proses tersebut.

Perasaan suntuk, tampaknya cenderung lebih menyulut faktor emosionalnya sebagai kalangan muda. Terlebih, kecenderungan penanganan demo oleh aparat yang cenderung represif, mengandung unsur kekerasan dan terblow-up berbagai media. Bila dibiarkan atau kurang cepat direspon, bukan tidak mungkin dampaknya akan makin parah.

Kekuatan media massa yang disebut sebagai pararational interaction (dalam: Em Griffin, 2000), menjadikan mahasiswa yang melakukan demo menolak UU BHB di berbagai PT seolah saling berinteraksi, saling berkomunikasi (parara- tional communication), sehingga solidaritas pun makin terbentuk. Indikasinya bagaimana kecenderungan demo mahasiswa di Makasar yang jumlahnya sudah sangat besar.

Kecenderungan sama-sama bahkan lebih besar di berbagai wilayah lainnya, tentu tidak dikehendaki semua pihak. Selain kontraproduktif, berbagai pihak pun mungkin akan merasakan dampaknya, selain proses belajar yang terganggu, yang akan bermuara pada kualitas lulusan.

Karena itu, sudah waktunya mereka yang berseberangan, DPR dan pemerintah di satu pihak, serta para penolak serta mahasiswa di lain pihak, saling duduk bersama, berdialog, mencari jalan keluar yang terbaik. Selain itu, di era keterbukaan seperti sekarang ini, pelibatan langsung media massa untuk ikut memantau, bahkan bila perlu memberi masukan sangatlah penting.

Melalui cara ini, media massa akan memperoleh informasi yang langsung, utuh, lengkap serta komprehensif, sehingga informasi yang tersebar ke masyarakat, khsusnya mahasiswa juga makin informatif. Bukankah kita ingat bahwa Teori Entrophy menyebutkan bahwa informasi itu akan informatif, manakala mampu menghilangkan ketidakjelasan.

Kejadian sekarang ini, yang cenderung kurang informatif, selain malah saling menyalahkan dan tampak kecenderungan menjadikan mahasiswa menjadi korban melalui pembunuhan kharakter (character assasination), jelas sangat kontraproduktif dan menghantam diri sendiri.

Bertemu, berdialog, dan hasilnya secara bertahap terpublikasi secara informatif, jelas merupakan jalan yang terbaik. Sembari menunggu putusan MK sesuai amanat UUD 1945, bila dalam waktu dekat misalnya terjadi kesepakatan penundaan pemberlakuan atau kesepakatan lainnya sebagai hasil dialog, akan jauh lebih manis, dibanding terus menerus menyaksikan kekerasan demi kekerasan, terlebih melibatkan intelektual muda calon pemimpin bangsa.

3.5. Dampak yang ditimbulkan dari adanya RUU BHP.

Maraknya aksi unjuk rasa dari mahasiswa menolak penerapan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) beberapa waktu lalu, kemungkinan besarnya hanya karena belum membaca peraturan itu secara utuh.Terbukti setelah diberikan penjelasan, instensitas aksi penolakan semakin lama semakin berkurang, bahkan tidak mempersoalkan lagi.

Hal ini dikatakan , Muslih Kabag Penyusunan Rancangan Peraturan Per Undang-Undangan dan Peraturan Hukum Biro Hukum dan Organisasi Dinas Pendidikan Nasional pada Sosialisasi UU BHP dan Program Sertifikasi Guru Tahun 2009 di Aula T Amir Hamzah Disdik Sumut, Selasa (3/3).

Dijelaskan, tujuan undang-undang adalah otonomi di bidang pendidikan seperti yang termaktub di Pasal 8 (3) UU BHP, sehingga pengelolaan pendidikan bisa semakin baik. UU juga mengamanahkan yayasan pendidikan atau perguruan tinggi menjadi lembaga penelitian, dan setelah itu bisa diserahkan kepada perusahaan maupun lembaga. “Hasilnya bisa digunakan untuk memajukan pendidikan di tempat yang bersangkutan”, ucapnya.

Selain itu, ungkap Muslih perguruan tinggi juga diperbolehkan menanamkan modalnya 10 untuk dikelola pihak ketiga. Dan hasilnya dikembalikan untuk peningkatan mutu pendidikan. Oleh karena itu, kehadiran BHP tidak akan meyulitkan yayasan pendidikan maupun perguruan tinggi swasta. Apalagi pemerintah menjamin bahwa tidak ada perbedaan status antara negeri dan swasta, terangnya.

Pemerintah membantah jiwa korporasi lantaran BHP bersifat nirlaba. Mereka menyangkal pula niatan lepas tangan dari pembiayaan pendidikan karena akan membiayai wajib pendidikan dasar dan membatasi pungutan maksimal dari masyarakat hanya sepertiga dari biaya operasional. Pasal 53 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) berbunyi, ”Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan yang didirikan pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan”. Pasal itulah yang menjadi pegangan lahirnya UU BHP. Namun, landasan tersebut sendiri ternyata produk ”keseleo”.

Masalah timbul saat UU Sisdiknas harus dijabarkan. Sudah terbayangkan betapa repotnya jika satuan pendidikan yang jumlahnya sekitar 250.000 sekolah dan madrasah harus mengikuti aturan itu. Padahal, mulanya hanya untuk pendidikan tinggi negeri saja agar mempunyai otonomi dan koridor. Kalau sudah dikatakan hanya satuan pendidikan tinggi, itu sudah aman. Kita tidak akan pernah membayangkan memasukkan pendidikan dasar dan menengah untuk ber-BHP. Karakteristiknya juga berbeda sama sekali dengan perguruan tinggi

Ide dasar lahirnya UU BHP tidak terlepas dari kesemrawutan dan prosedur penganggaran di perguruan tinggi negeri. Sebelum tahun 1999, perguruan tinggi negeri terkukung dengan model kerja birokrasi. Cara penganggaran terpusat. Sederhananya, untuk membeli kertas pun yang menentukan harus Bappenas (Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional) dan dana tidak bisa dalam bentuk blockgrant. Kalau mendadak kebutuhan berubah karena dinamika perguruan tinggi, revisinya berlarut-larut sampai ke pusat.

Permasalahan lainnya terkait dengan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang membuat para rektor sakit kepala. Penerimaan yang merupakan PNBP, seperti dari mahasiswa, disetorkan ke kas negara, kemudian perguruan tingi mengajukan permintaan kembali sehingga membutuhkan waktu lama dan proses panjang. Pembayaran honor untuk dosen yang mengajar atau menguji skripsi mahasiswa bisa terlambat tiga bulan. Persoalan administrasi PNBP kerap menjadi temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) lantaran rektor bersedia berisiko masuk bui daripada melawan kebutuhan dosen dan mahasiswa. Pemerintah berupaya mencari dasar hukum sehingga penyelenggaraan perguruan tinggi tidak terjerat jalur birokrasi yang rumit dan berbelit-belit.

Salah satu alternatif yang terpikirkan ialah mengalihkan perguruan tinggi negeri menjadi badan hukum. Ahli hukum dan kebijakan publik pun berdebat. Sebagai jalan keluar dibuat peraturan pemerintah khusus badan hukum milik negara (BHMN). Fasli mengakui bahwa BHMN sebetulnya berbenturan dengan perundang-undangan keuangan karena tidak ada dasarnya. Semangatnya lebih pada memberikan otonomi kepada perguruan tinggi yang selama ini ”tertindas”. Belakangan, kebebasan BHMN tersebut dinilai kebablasan dan dianggap perlu membuat koridor. Kelahiran UU Sisdiknas sendiri telah memberikan restu terhadap pengaturan satuan pendidikan yang lebih jelas.

Nasib persekolahan

Lantas bagaimana dengan nasib pendidikan dasar dan menengah dengan sahnya UU BHP tersebut? Implikasi UU BHP justru sangat luas di jenjang pendidikan ini. Pemerintah sendiri, menurut Fasli, menyadari dan mencari cara agar satuan pendidikan dasar dan menengah tidak terlalu mudah ber-BHP. Dibuatlah standar sangat tinggi agar sekolah dapat ber-BHP yakni memenuhi delapan standar nasional pendidikan (SNP) dan berakreditasi A. Saat ini, belum ada sekolah yang memenuhi standar itu. ”Sebenarnya, intinya cuma kita memasukkan dalam UU itu karena perintah dari UU Sisdiknas,” ujarnya.

Salah satu peserta aktif diskusi, Lodi Paat dari Koalisi pendidikan, mengatakan, persoalan tidak sesederhana itu. UU BHP seakan dipaksakan ada. Ia menilai undang-undang tersebut tidak lepas dari ”agenda” neoliberalisme. Pengamat pendidikan Darmaningtyas menuding, undang-undang tersebut hanya memberi tempat kepada orang kaya atau siswa pintar. ”Siswa miskin dan tidak terlalu pintar tidak mendapat tempat dan tidak diperhatikan,” ujarnya.

Direktur Pelaksana Yayasan Perkumpulan Sekolah Kristen Djakarta (PSKD) Tunggul Siagian berpendapat bahwa tidak ada semangat pendidikan dalam UU BHP. Undang-undang tersebut dipandang terlalu mencampuri ”urusan dalam negeri” sekolah. Kehadiran UU BHP juga ditanggapi pesimistis oleh operator pendidikan di lapangan.

Pudentia, penasihat Badan Musyawarah Perguruan Swasta Pusat, mengatakan bahwa UU BHP mematikan sekolah swasta. Kalau disebut-sebut sebelumnya UU Sisdiknas mempunyai ”lubang” lantaran tidak membedakan satuan pendidikan calon BHP, tampaknya UU BHP malah menggali lebih dalam ”lubang” yang ada. Lubang yang dapat mengubur pendidikan murah di Tanah Air.

Pendidikan merupakan hak setiap warganegara. Oleh karena itu, negaralah yang seharusnya mengelola bidang pendidikan, baik pembiayaan maupun kurikulumnya. Karena, baik/buruknya pendidikan akan berdampak langsung bagi baik/buruknya suatu negara. Paradigma baru dalam bidang pendidikan tersebut, seperti sebuah gagasan yang mulia. Akan tetapi, dampak yang nampak saat ini adalah privatisasi dan komersialisai pendidikan.

Privatisasi pendidikan tentu saja akan melepaskan negara dari tanggung jawabnya untuk memenuhi kebutuhan dasar warganegaranya akan pendidikan. Dampak yang akan langsung terlihat adalah berkurangnya subsidi pendidikan, sehingga biaya pendidikan akan semakin mahal. Dengan kondisi ini, maka tidak menutup kemungkinan pendidikan (tinggi) hanya akan menjadi sebuah khayalan bagi sebagian besar warganegara negeri ini sebagaimana di jaman kolonial Belanda dulu. Akibatnya, persentase rakyat yang bodoh semakin tinggi.

Konsep subsidi silang dalam dunia pendidikan, yaitu pemberian beasiswa bagi golongan tidak mampu yang diambil dari biaya pendidikan dari golongan kaya, menurut penulis tidak akan efektif. Hal ini karena jumlah golongan tidak mampu lebih banyak daripada golongan mampu. Disamping itu juga harus diperhatikan dampak psikis yang mungkin akan muncul, jika biaya pendidikan golongan tidak mampu menjadi beban bagi golongan mampu. Oleh karena itu, menjadikan pendidikan dapat dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat adalah lebih bijak.

Dampak lain dari privatisasi pendidikan adalah tidak bisa dielakkannya praktik komersialisasi pendidikan. Ilmu pengetahuan layaknya sebuah komoditas perdagangan. Hal ini seperti yang disampaikan Dirjen Dikti dalam makalahnya diatas bahwa The distinction between knowledge and commodity has narrowed. Pendapat ini tidak jauh dari tafsiran jika ingin mendapatkan pendidikan yang berkualitas, maka harus rela membayar mahal. Akibatnya, konsep mengamalkanâ ilmu lebih karena dorongan materi daripada untuk ibadah, yaitu untuk mengembalikan modal yang telah dikeluarkan selama kuliah.

Di sisi lain, hubungan peserta didik/mahasiswa dengan guru/dosen yang diibaratkan seperti anak dan orang tua akan luntur. Hal ini karena mereka merasa telah membayar mahal dan harus mendapatkan pelayanan terbaik. Tuntutan lebih diakibatkan karena dorongan materialisme. Sebagaimana dalam dunia perdagangan, konsumen adalah raja. Tidak menutup kemungkinan, kondisi ini akan merubah norma yang selama ini kita yakini, bahwa guru adalah orang tua kedua yang juga harus kita hormati.

3.6. Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (BHP) Bagi Dunia Pendidikan Kita.

Mahalnya biaya pendidikan saat ini membuat banyak masyarakat semakin mempertimbangkan lagi pentingnya sebuah pendidikan. Undang-undang yang baru saja disahkan oleh pemerintah ternyata malah mengundang kontroversi. Banyak pihak yang tidak setuju dengan UU BHP ini. Karena pengesahan ini membuat biaya pendidikan semakin mahal dan tidak terakses oleh seluruh lapisan masyarakat.

Dalam UU ini, berisi otonomi yang diberikan oleh UU BHP harus dilandasi oleh prinsip-prinsip seperti nirlaba, akuntabilitas, transparan, jaminan mutu dan seterusnya yang memastikan tidak memperbolehkan bahkan mengharamkan adanya komersialisasi dalam BHP. Namun prinsip tersebut belum dapat direalisasikan, dan yang ada pada akhirnya BHP melegasisasi suatu kesempatan kepada satuan pendidikan untuk memberi peluang bagi calon mahasiswa berkapasitas intelegensia rendah untuk mengambil kursi mahasiswa lain yang berkualitas tinggi jika mampu memberi imbalan tertentu.

Dunia pendidikan bagi sebagian masyarakat kita masih mahal harganya, apalagi ditambah dengan adanya UU BHP ini. Memasuki bangku pendidikan tinggi di sebuah universitas ternyata juga tidak menjamin seseorang itu dapat meraih sukses dalam mencari pekerjaan. Pilihan universitas dan fakultas yang tidak melulu dinilai dari prestisiusnya, dan tak ada salahnya memilih fakultas kejuruan yang dapat mengasah kemampuan kita dalam bidang tertentu. Persaingan dalam dunia kerja tak selalu dinilai dari alumnus sebuah universitas negeri atau swasta terkemuka. Tapi lebih kepada kompetensi kita sebagai individu.

Karena itu, kita sebagai generasi muda haruslah lebih cerdas dalam memilih sebuah institusi pendidikan. Tak hanya bisa menyalahkan pemerintah saja, namun harus ada tindakan nyata dari generasi muda untuk dapat mewujudkan kehidupan pendidikan yang lebih baik.

Pengesahan UU BHP merupakan suatu penyelewengan terhadap tujuan dan filosofi pendidikan Indonesia. Hal ini langsung terlihat dari berubahnya bentuk institusi pendidikan di Indonesia, mulai dari SD hingga Perguruan Tinggi menjadi Badan Hukum. Sesuai dengan amanah konstitusi, pendidikan merupakan hak warga Negara yang penjaminan pemenuhannya wajib dilakukan oleh Negara. Berubahnya bentuk institusi pendidikan menjadi Badan Hukum akan mengeliminasi penjaminan Negara terhadap masyarakat dalam memperoleh pendidikan, salah satunya dari sisi aksesibilitas..

Segala semangat positif yang terdapat dalam BHP, seperti akuntabilitas, transparansi serta efisiensi birokrasi diharapkan akan menjadi solusi dari permasalahan pendidikan di Indonesia, yang dinilai bersumber dari inefisiensi birokrasi. Namun, terlepas dari itu semua, kita pun harus memperhatikan dengan jeli bahwa pengubahan status institusi pendidikan menjadi BHP mengandung konsekuensi tersendiri. Konsekuensi tersebut merupakan akibat dari esensi bentuk Badan Hukum yang melekat pada institusi pendidikan berbentuk BHP.

Salah satu hal yang perlu dikritisi adalah dari sisi pendanaan BHP. Sebagaimana tercantum dalam UU BHP pasal 41, tidak seluruh pendanaan BHP berasal dari Pemerintah, baik itu pendidikan menengah maupun pendidikan tinggi. Artinya masih terdapat porsi-porsi dimana institusi pendidikan yang bersangkutan perlu mengusahakan sendiri sumber dana lain dalam memenuhi biaya operasional penyelenggaraan pendidikan. Mari kita telaah, dari sumber-sumber mana saja institusi pendidikan dapat memperoleh dana untuk ‘menambal’ biaya operasional mereka. Dari peneleaahan tersebut juga akan terlihat bahwa mekanisme pendanaan biaya operasional pada BHP diluar porsi pemerintah, tidak hanya diatur dalam UU BHP saja, namun juga tercantum pada peraturan-peraturan lain (PP dan Perpres). UU BHP ‘hanya’ menjelaskan garis besar porsi-porsi pembiayaan yang harus ditanggung sendiri oleh BHP dan menjelaskan secara umum mekanisme memperolehnya. Rincian dari mekanisme tersebut diatur selanjutnya oleh peraturan lain.

Salah satu sumber pendanaan yang diperbolehkan dijalankan oleh BHP adalah investasi dalam bentuk portofolio (saham). Hal ini tercantum dengan jelas pada pasal 42 ayat 1. Hal ini menunjukkan bahwa institusi pendidikan (BHP) dapat bermain di pasar bursa. Tentunya kita belum lupa mengenai riskannya bermain di sektor finansial. Gambaran anjloknya sektor finansial dunia pada krisis ekonomi global saat ini tentunya sangat menggambarkan tingginya resiko permainan saham di lantai bursa. Tak terhitung berapa banyak perusahaan-perusahaan besar dunia yang mendadak gulung tikar karena fluktuasi nilai saham yang sangat rentan. Bayangkan jika sektor vital seperti pendidikan ditopang oleh mekanisme pendanaan yang rapuh seperti ini? Akan jadi seperti apa dunia pendidikan Indonesia? Ramai-ramai gulung tikar pula kah?

Mekanisme lain yang dapat dilakukan oleh BHP untuk memperoleh dana adalah dengan menghimpun dana dari masyarakat dengan ketentuan yang sesuai dengan undang-undang (peraturan) yang ada. Hal tersebut tercantum dalam pasal 45 ayat 1 UU BHP, namun tidak ada penjelasan lebih rinci mengenai hal tersebut. Satu hal yang menarik adalah keberadaan PP no.48 tahun 2008 mengenai pendanaan pendidikan. PP tersebut menjelaskan secara terperinci sumber-sumber dana ynag dapat digunakan oleh BHP. Pada PP tersebut terdapat beberapa pasal yang jelas-jelas mengatakan bahwa salah satu sumber pendanaan institusi pendidikan adalah dari pihak asing. Sedikitnya terdapat 15 pasal dalam PP tersebut yang menyebutkan bahwa salah satu sumber pendanaan yang sah dari institusi pendidikan berasal dari pihak asing.

Keterlibatan pihak asing dalam dunia pendidikan Indonesia yang tercantum dalam peraturan negeri ini tidak hanya itu. Pada Perpres No.77/2007 mengenai daftar bidang usaha yang tertutup dan terbuka di bidang penanaman modal, disebutkan bahwa jenis badan usaha yang dapat dimasuki modal asing adalah pendidikan, baik formal maupun informal, dengan persentase modal asing sampai dengan 49%.

Lucu sekali. Disaat Pemerintah perlahan-lahan berlepas tangan dari pendanaan pendidikan, pihak asing justru perlahan-lahan diberikan wewenang untuk mendanai pendidikan negeri ini. Jika seperti ini, secara tidak langsung Pemerintah telah melegalkan jalan bagi pihak asing untuk mulai mengambil alih otoritas pendidikan Indonesia. Bagaimana mungkin sektor yang penting seperti pendidikan dalam suatu negara dikuasai oleh modal asing. Seperti apa kebijakan yang akan diterapkan didalam badan hukum pendidikan ini yang dikatakan bersifat “mandiri”? Dimana kedaulatan negeri ini bila sektor pendidikannya diselenggarakan oleh pihak asing?

Sejatinya, pendidikan adalah hak bagi seluruh warga Negara. Oleh karena itu, seharusnya pemerintahlah yang paling banyak bertanggung jawab akan hal ini secara holistik. Bagaimanapun juga, negara akan dianggap mempunyai arti dan berperadaban maju jika kondisi pendidikan yang sedang dijalankannya tidak menimbulkan banyak masalah negatif.

Langkah pemerintah yang telah memasukkan Rancangan Undang Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) dan menjadi prioritas nasional kiranya kurang bersahabat dengan rakyat. Langkah ini dapat melahirkan privatisasi pendidikan. Konsekuensinya, pemerintah tidak banyak melakukan intervensi. Sekilas terlihat sangat bijak, namun jika ditilik lebih lanjut hal ini akan berdampak pada jumlah subsidi yang di berikan oleh pemerintah, akhirnya biaya pendidikan semakin mahal.

Hal tersebut merupakan dampak jangka pendek yang dapat dirasakan, namun dampak langsung dalam waktu jangka panjang adalah terjadi insolidaritas sosial. Dapat dibayangkan jika biaya pendidikan mahal dan berhasil meluluskan seorang sarjana maka kemungkinan yang terjadi adalah sarjana tersebut akan berupaya penuh untuk mengembalikan modal biaya yang telah dibayarkan sebelumnya. Jika ia menjadi seorang dokter, maka bisa saja dia membuat tarif yang lebih tinggi dari harga normal.

Contoh tersebut di atas sudah menjadi common sense di zamrud negeri katulistiwa ini. Dengan demikian, sebagaimana prinsip nirlaba, pendidikan akan menerima dana yang mengucur deras dari orang-orang kapitalis yang sarat dengan kepentingan pribadi yang mempunyai kecenderungan untuk mencari kuntungan. Inikah konsep yang akan dipilih oleh masyarakat Indonesia?

3.7 . UU BHP Tidak Mengarah Privatisasi Perguruan Tinggi !

Pemerintah dan DPR sepakat melanjutkan pembahasan dan penuntasan RUU bidang Badan Hukum Pendidikan (BHP) dan jika telah menjadi UU maka pemerintah dan DPR akan membatasi kecenderungan munculnya privatisasi dan komersialisasi di dunia pendidikan.

Demikian penjelasan Ketua Panja RUU BHP DPR Anwar Arifin di Gedung DPR/MPR Jakarta, Senin (2/06) setelah Rapat Pembahasan RUU BHP bersama Menteri Pendidikan Nasional Bambang Soedibyo serta Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalatta.

Dia mengemukakan, dalam menyusun RUU BHP, DPR membutuhkan masukan dari kalangan perguruan tinggi, forum rektor dan majelis-majelis perguruan tinggi. Selain itu juga Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM). Selain membatasi kecenderungan munculnya privatisasi di dunia pendidikan, UU BHP juga mempertahankan keberadaan yayasan yang mendirikan atau mengelola lembaga pendidikan.

“Pihak yayasan tidak perlu khawatir akan dibubarkan dengan adanya UU BHP,” katanya. Dia mengakui, ada pihak yang khawatir bahwa UU BHP akan menaikkan anggaran pendidikan, termasuk SPP. Karena itu, DPR akan menetapkan bahwa anggaran pendidikan, terutama SPP akan ditetapkan berdasarkan kemampuan orang tua anak didik.

Anggaran akan ditetapkan secara dinamis, proporsional dan menerapkan azas keadilan, artinya, orag tua yang memiliki kemampuan ekonomi lebih tinggi diharapkan memberi sumbangan pendidikan lebih tinggi, sedangkan orang tua yang miskin kalau perlu anaknya digratiskan. Walau terlambat Anggota Komisi X (bidang pendidikan) DPR RI Ferdiansyah mengemukakan, pengajuan RUU BHP meskipun agak terlambat, tetapi tetap penting agar setiap penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan berbadan hukum.

Keberadaan UU BHP sebagaimana amanat UU tentang Sisdiknas akan memperjelas arah dunia pendidikan nasional, namun juga harus memperhatikan ketentuan yang telah ada sebelumnya.

Fraksi Golkar akan konsisten terhadap semangat Pasal 53 UU No.20/2003 tentang Sisdiknas dan penjelasannya serta akan berusaha keras untuk mensinkronkan dan mengharmoniskan dengan UU lain, seperti UU tentang Guru dan Dosen, UU Yayasan, UU Perbendaharaan Negara, UU Keuangan Negara dan UU tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

Ferdiansyah menyatakan, masyarakat pendidikan menginginkan agar UU BHP dapat menjadi “payung” bagi segenap keanekaragaman penyelenggaraan pendidikan yang sudah ada. Masyarakat menghendaki agar negara tetap menjadi penanggung jawab utama dunia pendidik.

“UU BHP tidak boleh menjadi pintu keluar bagi pemerintah untuk lepas tangan dari tanggung jawab menyediakan pendidikan yang merata dan bermutu bagi setiap warga negara,” katanya.

Dia juga menyatakan, UU BHP tidak boleh menjadi sarana privatisasi dan komersialisai dunia pendidikan. Dalam kaitan ini, Golkar mengusulkan badan hukum pendidikan berbadan hukum publik dan badan hukum perdata.

Badan hukum pendidikan bagi penyelenggara atau satuan pendidikan yang didirikan pemerintah atau pemerintah daerah adalah badan hukum publik yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah atau peraturan daerah. Dengan demikian asetnya milik negara dan tenaga pendidiknya adalah PNS.

Badan hukum pendidikan bagi penyelenggara dan satuan pendidikan yang didirikan masyarakat adalah badan hukum perdata yang ditetapkan dengan akte notaris, bersifat nirlaba, transparan dan akuntabel untuk pelayanan bagi peserta didik.

Jika UU Yayasan tidak dapat menjadi ‘payung hukum” bagi satuan pendidikan yang bersifat nirlaba, pendiri dan pengurus yayasan dapat mendirikan badan hukum pendidikan tanpa harus membubarkan yayasan.

“Aset yayasan tetap milik yayasan dan dapat disewakan kepada BHP yang diatur dalam AD/ART yang disusun pendiri,” katanya. Badan hukum pendidikan yang didirikan pemerintah atau pemerintah daerah dapat disebut BHPP, sedangkan yang didirikan masyarakat dapat disebut BHPM.

3.8. Jamin BHP Tak Kedepankan Komersialisasi

Prokontra Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) terus bergulir. Kalangan peserta didik atau Mahasiswa tetap ngotot menolak BHP dengan alasan komersialisasi pendidikan, meski telah dilakukan revisi terbaru atas draf RUU BHP.

Dalam draf RUU BHP terbaru yang direvisi 5 Desember 2007 oleh DPR RI di Komisi X telah menjawab kritikan mahasiswa bahwa RUU ini hanya mengedepankan komersialsasi.

Beberapa pasal baru ditambahkan mengenai pendanaan pendidikan. Pendanaan pendidikan tersebut yang selama ini dikhawatirkan. Soal privatisasi atau swastanisasi juga dijamin tidak akan terjadi, karena nantinya badan hukum universitas negeri tidak berdasarkan yayasan tetapi berdasarkan nirlaba.

Bila RUU ini disahkan, otomatis mengikat seluruh universitas di seluruh Indonesia? Meski kemampuan universitasi tak sama !. RUU ini akan mereformasi system pendidikan dan akan terjadi distribusi keadilan dalam pendidikan.

Keadilan yang dimaksud di sini adalah keadilan proporsional. Selama ini yang dipakai adalah keadilan distributif. Keadilan proporsional maksudnya peserta didik membayar atau memberikan sumbangan pendidikan sesuai kemampuan orang tua atau dirinya. Ini bisa dilihat pada pasal 34 ayat 4 RUU BHP hasil revisi per 5 Desember 2007. Isinya itu menyatakan peserta didik dapat ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan kemampuan orang tua atau pihak yang bertanggung jawab membiayainya.

Yang terbaru dan merupakan kunci pokoknya adalah dimasukkannya pada BAB V tentang sumber pendanaan pendidikan. Bisa dilihat pada pasal 33 -38 yang memuat poin penting keberpihakan peserta didik dalam peyelenggaraan pendidikan.

RUU ini sebenarnya sudah diuji publik di 10 provinsi. Cuma karena tidak tersebar luas, maka kebanyakan peserta didik yang menolak menganggap isi dari RUU BHP masih seperti yang dulu. Kita berharap khusus BAB V mulai dari pasal 33-38 yang membahas masalah pendanaan merupakan kunci untuk memagari semua bentuk komersialisasi yang dimaksud.

Sebenarnya pemilik modal di sini tidak berdaya. Justeru para pemilik modal bisa dipastikan tidak happy dengan RUU ini. Karena Badan Hukumnya dalam bentuk nirlaba. Artinya tidak mencari keuntungan atau laba. Jadi kata nirlaba ini ada yang usulkan supaya dihilangkan kata nirlaba itu. Sebenarnya selama ini orang cuma baca di Koran untuk tolak BHP. Tapi intinya yang membendung dan menjawab soal komersialisasi adalah bab V soal pendanaan.

Sangatlah wajar jika pendidikan kerap menjadi bahan perbincangan di ruang publik, mulai dari kekerasan dalam lembaga pendidikan kedinasan, Undang-Undang Sisdiknas, pergantian kurikulum dan kompetensi tenaga kependidikan, pelaksanaan ujian nasional (UN) yang kontroversi, hingga mahalnya biaya pendidikan sebagai akibat adanya otonomi kampus. Wacana berbau pendidikan tetap menarik untuk disimak (Jawa Pos, Kamis, 26 Apr 2007).

Menyoal masalah komersialisasi pendidikan tidak bisa lepas dari campur tangan Bank Dunia. Berawal dari desakan Bank Dunia untuk segera mengotonomisasi Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Ihwal ini terlahir pada tahun 1999 ketika terjadi pertemuan konsultatif antara pihak Bank Dunia dan rektor PTN. Dengan dana yang dijanjikan Bank Dunia, masing-masing PTN kemudian mengajukan proposal.

Siasat ini pun berhasil memancing beberapa PTN untuk tergabung dalam lingkaran BHMN. Hingga kini beberapa PTN yang sudah include di dalamnya adalah Universitas Indonesia/UI (Jakarta), Institut Teknologi Bandung/ITB (Bandung), Universitas Gajah Mada/UGM (Yogyakarta), Institut Pertanian Bogor/IPB (Bogor). Badan Hukum Pendidikan (BHP) merupakan bayi yang lahir dari rahim BHMN.

Intinya sama, Rancangan Undang Undang yang dianut BHP adalah melepaskan PTN dari intervensi pemerintah. Ujung-ujungnya, tidak ada perbedaan antara Perguruan Tinggi Negeri dan Perguruan Negeri Swasta. Semua sama dalam mengemban prinsip privatisasi yang tidak lain adalah imbas dari liberalisasi pendidikan.

Bentuk privatisasi pendidikan sebagai hasil dari adonan liberalisasi dan komersialisasi kian hari semakin menampakkan wujudnya. Merujuk pada pasal 19 Undang Undang Sisdiknas Masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan, dan pasal 12 ayat 2 (b) yang memberi kewajiban terhadap peserta didik untuk ikut menanggung biaya penyelenggaraan pedidikan.

Jika menengok pada Rancangan Undang Undang Badan Hukum Pendidikan pasal 1 ayat (1) dijelaskan bahwa Badan Hukum Pendidikan (BHP) adalah badan hukum perdata yang didirikan pemerintah, pemerintah daerah atau masyarakat, berfungsi memberikan pelayanan pendidikan, berprinsip nirlaba dan otonomâ.

Ironis, beberapa pola yang terkandung dalam RUU BHP justru memberi ruang sempit bagi seluruh elemen masyarakat untuk mengakses pendidikan hingga tingkat Perguruan Tinggi. Predikat privatisasi yang terus mengekor pada sektor pendidikan

3.9. Mengenal Perpres No. 76 dan 77 tahun 2007 dan RUU BHP

Lahirnya Perpres No. 76 dan 77 tahun 2007 sebagai penguat dari Pengesahan UU. No. 25 Tahun 2007 tentang penanaman modal. Perpres No. 76. tahun 2007 menetapkan kriteria dan persyaratan untuk bidang-bidang usaha yang tertutup dan terbuka untuk penanaman modal. Sedangkan Perpres No 77 tahun 2007 menetapkan 25 bidang usaha yang tertutup dan 291 bidang yang terbuka untuk penanaman modal dalam dan luar negeri dengan atau tanpa persyaratan. Di antara bidang-bidang usaha yang terbuka termasuk bidang usaha pendidikan yakni bidang usaha pendidikan dasar dan menengah, bidang usaha pendidikan tinggi, dan pendidikan pendidikan non-formal. Satu-satunya persyaratan yang ditetapkan kepemilikan modal oleh pihak luar terbatas sebesar 49 persen.

RUU BHP adalah Rancangan Undang-Undang Badah Hukum Perguruan Tinggi yang berujuan melengkapi sejumlah badan hukum yang sudah ada. Adapun jenis badan hukum yang selama ini dikenal adalah perseroan terbatas (PT), koperasi, yayasan, perusahaan umum (perum), badan layanan umum (BLU), perhimpunan, dan yang paling baru adalah badan hukum milik negara (BHMN). Berbagai jenis badan hukum, kecuali BHMN, dianggap kurang memadai sebagai "kendaraan" yang mengelola pendidikan. PT jelas kurang pas karena fungsi PT adalah mencari keuntungan. Apalagi berbagai organ dalam PT tidak dapat digunakan untuk mengakomodasi pengurus lembaga pendidikan, seperti kepala sekolah dan rektor. Demikian pula dengan koperasi, perum, dan BLU. Setidaknya ada dua alasan mendasar mengapa RUU BHP dimunculkan:

1. Lembaga pendidikan "negeri" yang selama ini merupakan bagian dari instansi pemerintah dalam bentuk unit pelaksana teknis (UPT) ingin dimandirikan dengan status sebagai badan hukum. UPT yang menjadi badan hukum bukanlah lembaga pendidikan, melainkan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Kalaupun pengurus lembaga pendidikan dapat mengikatkan lembaganya dengan pihak ketiga, kewenangan tersebut berasal dari pendelegasian kewenangan yang dimiliki oleh Menteri Pendidikan Nasional.

2. Dimunculkannya RUU BHP terkait dengan penyelenggaraan pendidikan oleh pihak swasta. Hampir semua penyelenggara pendidikan swasta dilakukan oleh badan hukum berupa yayasan. Penggunaan yayasan memunculkan dua kepengurusan, yaitu pengurus yayasan dan pengurus lembaga pendidikan. Pengelolaan lembaga pendidikan diserahkan kepada institusi yang dikenal dalam lembaga tersebut. Dalam beberapa tahun terakhir kerap muncul perselisihan antara pengurus Yayasan dan pengurus lembaga pendidikan. Bagi Depdiknas kehadiran RUU BHP diharapkan menjadi solusi untuk menghilangkan kepengurusan ganda. Namun di sisi lain, RUU BHP menjadi sumber kekhawatiran bagi pengurus yayasan. Hal ini karena fungsi pengurus yayasan akan hilang. Pengurus yayasan akan ditransformasikan menjadi Majelis Wali Amanat (MWA) yang merupakan bagian dari lembaga pendidikan. Bila RUU BHP menjadi UU, pengurus yayasan tidak akan lagi memiliki kewenangan yang selama ini ada, seperti pengangkatan kepala sekolah dan rektor berikut perangkatnya. Bahkan pengurus yayasan tidak dapat lagi bertindak sebagai pemilik dari lembaga pendidikan yang dikelola.

Perpres No. 76 dan 77 tahun 2007 dan RUU BHP

Dalam konsideran UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas Butir c. telah dirumuskan sebagai berikut:

Sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntuan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global sehingga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan.

Untuk mencapai tujuan tersebut Pemerintah menetapkan perlunya penataan dan restrukturisasi sistem pendidikan pada tataran nasional sampai satuan pendidikan sehingga sistem tersebut memiliki kredibilitas yang tinggi dan akuntabel terhadap publik. Salah satu penataan untuk mencapai tujuan tersebut adalah menetapkan penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal harus berbentuk badan hukum pendidikan. UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas menetapkan dalam Pasal 53 (1) s/d (4) sebagai berikut:

1. Penyelengara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah dan masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.

2. Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1) berfungsi memberikan pelayanan kepada peserta didik.

3. Badan hukum sebagaimana dimasudkan dalam ayat (1) berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan system pendidikan.

4. Ketentuan tentang badan hukum pendidikan diatur dengan Undang-undang tersendiri.

Rancangan Undang-Undang (RUU) Badan Hukum Pendidikan yang segera akan diundangkan telah menimbulkan kegusaran dan kecemasan luar biasa di kalangan masyarakat terutama penyelenggara perguruan swasta karena beberapa hal di antaranya dalam RUU tersebut tidak juga tampak adanya kesadaran pengambil kebijakan negara terhadap tanggung jawab untuk memikul amanat fundamental UUD 1945 dalam hal "mencerdaskan kehidupan bangsa" dengan menyediakan pendidikan yang baik bagi segenap warganya. Ini jelas-jelas pelanggaran bahkan pengingkaran terhadap tujuan Proklamasi 1945. Alih-alih mengambil tanggung jawab pendidikan yang kurang optimal, perumus, dan pengambil kebijakan negara justru bermaksud hendak menjadikan pendidikan sebagai komoditas yang dijualbelikan dengan mahal. Implikasinya jelas, pendidikan yang baik hanya layak dinikmati oleh masyarakat yang mampu

Di antara faktor yang menyebabkan pendidikan nasional menjadi semakin tidak menentu adalah karena problematiknya dipahami lebih sering dari berbagai sudut pandang, terutama dari sudut kepentingan dan kenyamanan birokrasi, kecuali dari sudut "pendidikan" sebagai pendidikan. Kalaupun pemahaman itu tidak apriori, tidak dapat dibantah bahwa pemahaman itu tidak terbatas dan penuh bias yang tidak menguntungkan bila diterapkan di dunia pendidikan dewasa ini. Karena persepsi nonpendidikan itu, penanganannya pun tidak dapat lain kecuali terbatas. Keterbatasan itu hanya bisa merusak.

Prof. Dr. Winarno Surakhmad, M.Sc.,Ed. mengatakan, keterbatasan itu mengakibatkan bahwa "inti permasalahan pendidikan" yang fundamental tidak pernah tersentuh, apalagi terpecahkan. Mem-BHP-kan dunia pendidikan seperti yang dicanangkan pemerintah (berdasarkan draf Depdiknas), beserta segala implikasinya (terutama privatisasi dan komersialisasi), serta segala konsekuensi dan dampaknya (terutama biaya dan kualitas), diperhitungkan akan lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya bagi masyarakat. Masih harus dimasalahkan apakah mati hidupnya pendidikan nasional dewasa ini ditentukan ada tidaknya BHP. Sedikitnya, gagasan ini dapat membunuh inisiatif, kreativitas, dan spontanitas masyarakat, apabila diterapkan dengan diagnosis yang salah, dan dengan terapi yang salah, walaupun dengan niat yang betul.

Perubahan paradigma pendidikan yang dilakukan oleh Pemerintah pastilah dipengaruhi oleh pandangan WTO tentang sektor industri atau usaha produktif. Sektor Primer adalah bidang-bidang usaha ekstraksi hasil tambang dan pertanian. Sektor Sekunder adalah semua bidang usaha pengolahan bahan dasar menjadi barang, bangunan, produk manufaktur dan barang yang diperlukan oleh publik (utilities). Sektor tersier adalah semua bidang usaha jasa untuk merubah wujud benda fisik (physical services), keadaan manusia (human services) dan benda simbolik (information and communication services). Sesuai dengan tipologi tersebut, WTO menetapkan pendidikan sebagai salah satu bidang usaha sektor tersier, karena kegiatan pokoknya ialah mentransformasi orang yang tidak berpengetahuan dan orang yang tidak berketrampilan menjadi orang berpengetahuan dan orang yang memiliki ketrampilan.

Mem-BHP kan perguruan tinggi menurut hemat penulis, bahwa ada upaya untuk swastanisasi lembaga perguruan tinggi, dimana peran pemerintah pemerintah dalam pengelolaan dan manajemen, terutama yang berkaitan dengan subsidi operasional yang selama ini, masuk dalam pengelolaan BHMN semakin kecil. Pengelolaan diserahkan sepenuhnya kepada pihak swasta yang menanamkan kepemilikan melalui saham. Sehingga yang terjadi adalah ketidakbebasan pergurua tinggi dari aspek nilai-nilai yang dimiliki pihak swasta. Pendidikan tinggi dapat dijadikan sebuah sarana komersil bagi pemilik modal untuk meraup keuntungan.

Jika hal ini terjadi, maka lembaga pendidikan tinggi akan dihinggapi oleh budaya corporate, yaitu yang dikuasai oleh konsumerisme dan hubungan-hubungan atau kekuatan pasar. Hal ini merupakan bahaya dalam kehidupan demokrasi karena nilai-nilai moral mulai menghilang dalam kehidupan publik. Budaya corporate ini merupakan sumber kekuasaan di dunia yang mengglobal yang semakin menghilangkan kekuasaan negara.

Upaya reformasi pendidikan melalui kehidupan demokratis, terutama dalam hal pemerataan dalam bidang pendidikan sesuai dengan amanat Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tidak akan tercapai. Pendidikan dianggap telah menjadi barang mahal, tidak terjangkau, dan hanya bagi golongan mampu yang mengenyamnya. Bila demikian, dapat dikatakan sudah terjadi ambiguitas antara idealisasi pendidikan yang mengusung aspek egaliter, pemerataan, relevansi dan efesiensi. Dari aspek efesiensi, barangkali pemerintah cukup efesien, karena yang seharusnya lembaga PT disubsidi pemerintah tidak lagi, sehingga pemerintah dapat mengalokaskan anggaran untuk aspek lainnya.

RUU BHP yang diusulkan pemerintah kepada DPR dan bila disahkan akan menjadi Undang-Undang, penulis melihat bahwa persoalan pendidikan di Indonesia lebih banyak didekati dan dipahami dari aspek politik dimana hegemoni negara begitu kuat untuk memposisikan diri sebagai kekuatan absolut dan mengatur dirinya dalam bentuk kebijakan yang kurang populis, yang seharusnya pendidikan disikapi dengan landasan filosofis dan demokratis. Maka bila dilahat apa yang dilakukan pemerintah melalui perpres No. 76 dan 77 tahun 2007 dan diusukan menjadi BHP lebih banya modharatnya, ketimbang manfaatnya.

Pengaruh globalisasi yang ditandai dengan hadirnya WTO dan GATT sebagai kekuatan monopoli pasar, sudah barang tentu berpengaruh pada pengambilan kebijakan pemerintah dalam sektor pendidikan. Sehingga implikasi yang muncul adalah komersialisasi pendidikan itu sendiri. Persoalannya adalah bagaimana sikap perguruan tinggi saat ini menghadapi derasnya arus globalisasi dan libealisasi tersebut.

Perguruan tinggi harus bersikap kritis dalam menyikapi kebijakan pemerintah melalui RUU BHP dengan memberikan pemikiran konstruktif tentang kebijakan tersebut, karena ini menyangkut persoalan hidup masyarakat yang dilindungi oleh negara. Pemikiran tersebut melihat dengan sikap bijak tentang dampak yang akan ditimbulkan, bila RUU BHP disahkan menjadi Undang-Undang dan sudah barang tentu akan dilaksanakan ditingkat operasional. Dilihat bagaimana dampak positif dan negatifnya terhadap keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara, serta keberlangsungan reformasi pendidikan yang tengah berjalan.

Perguruan tinggi sudah harus berfikir tentang bagaimana mutu atau kualitas lembaga pendidikan tingi bisa jauh lebih baik dengan meningkatkan standar mutu melalui ketrlibatan akreditasi nasional dan bahkan standar internasional. Hal ini penting untuk menambah daya saing perguruan tinggi buan saja pada level nasional, akan tetapi internasional yang selama ini, Indonesia dipandang jauh tertinggal dengan negara-negara lain yang sudah menerapkan standar mutu sebagai bagian pencapaian tujuan pendididikan.

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Dari makalah yang telah saya buat, dapat disimpulkan bahwasanya :

4.1.1. Tujuan RUU yang mengatur BHP pada dasarnya untuk menciptakan badan hukum baru melengkapi sejumlah badan hukum yang sudah ada. Adapun jenis badan hukum yang selama ini dikenal adalah perseroan terbatas (PT), koperasi, yayasan, perusahaan umum (perum), badan layanan umum (BLU), perhimpunan, dan yang paling baru adalah badan hukum milik negara (BHMN).

4.1.2 Persoalan yang diketengahkan dari BHP diantaranya tentang tata kelola. Lembaga pendidikan seharusnya tertata dengan baik, profesional, pendidikan efektif dan efisien, akuntabilitas, transparan, penjaminan mutu, layanan prima, akses yang berkeadilan, keberagaman, keberlanjutan. Hal tersebut merupakan hal yang sudah seharusnya dilakukan dan bukan hal yang baru. Tidak dengan BHP seharusnya sudah dapat berjalan. Kalau masih bermasalah berarti sumber daya yang perlu dibenahi bukan sistemnya.

4.1.3 Undang-undang Badan Hukum Pendidikan (BHP) tidak bisa dicabut karena undang-undang hanya bisa dicabut dengan undang-undang lagi. Menurut Wakil Ketua Komisi X DPR RI Heri Akhmadi, di Jakarta, Kamis (25/12), undang-undang adalah produk politik. Kalau memang ada yang menilai tidak sesuai dengan UUD 45 maka bisa mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK).

4.1.4 UU BHP terjadi karena adanya kekosongan pengaturan tentang pendidikan tinggi dalam UUD 1945 (amandemen ke-4). Dampak yang diduga akan terjadi dari kurangnya tanggungjawab pemerintah dalam pembiayaan PTN ini adalah melambungnya biaya kuliah di PTN favorit. Terkait dengan masalah tanggungjawab pemerintah ini, UU BHP juga memberikan sinyal peluang masuknya pihak asing dalam bisnis pendidikan tinggi di Indonesia yang tentunya dapat mengancam integritas bangsa. Jejak liberalisasi pendidikan terekam sejak Indonesia meratifikasi perjanjian perdagangan bebas yang disponsori WTO pada tahun 1994. Dalam perjanjian tersebut dinyatakan, sektor jasa termasuk pendidikan tinggi dimasukan ke pasar global dan dijadikan komoditas jasa yang bisa diperjualbelikan.

4.1.5 Undang-undang badan hukum pendidikan (BHP) bagi dunia pendidikan berisi otonomi yang diberikan oleh UU BHP harus dilandasi oleh prinsip-prinsip seperti nirlaba, akuntabilitas, transparan, jaminan mutu dan seterusnya yang memastikan tidak memperbolehkan bahkan mengharamkan adanya komersialisasi dalam BHP.

4.1.6 UU BHP membatasi kecenderungan munculnya privatisasi di dunia pendidikan, selain itu UU BHP juga mempertahankan keberadaan yayasan yang mendirikan atau mengelola lembaga pendidikan. Keberadaan UU BHP sebagaimana amanat UU tentang Sisdiknas akan memperjelas arah dunia pendidikan nasional, namun juga harus memperhatikan ketentuan yang telah ada sebelumnya.

4.2 Saran

Saya selaku penulis maklah menyarankan kepada seluruh masyarakat dan lembaga pendidikan lainnya agar jangan terlalu membesar-besarkan masalah UU BHP ini, karena hal itu akan menambah dampak yang buruk bagi pendidikan di Indonesia. Masalah UU BHP ini pikirkan segi positifnya. karena ada hal-hal positif yang tersirat dari adanya UU BHP ini.

DAFTAR PUSTAKA

Masliamin . pengesahan UU BHP. http://www.webmaster@dikti.go.id. Akses tanggal 20 Maret 2009

Har Tilaar. 2003. Kekuasaan dan Pendidikan, Suatu Tinjauan Dari Perspektif Studi Kultural. Magelang : Indonesiatera

Dede Rosyada. 2007. Paradigma Pendidikan Demokratis , Sebuah Model Pelibatan Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pendidikan. Jakarta : Kencana Prenada Media Group

Masliamin . Apa Tujuan RUU BHP, http://www.kompas.com/kompas-cetak/0611/20/humaniora/3105718.htm. Akses tanggal 20 Maret 2009

Masliamin. Pro-Kontra Rencana Mem-BHP-kan Dunia Pendidikan (2005), www.pikiranrakyatonline.com. Akses tanggal 20 Maret 2009